Breaking News

“Api di Subuh Tempe”: Cinta, Kepanikan, dan Solidaritas yang Membeku di Lorong Lembu 1


Keterangan Foto

Aparat kepolisian dan warga berdiri di depan sisa-sisa rumah panggung yang hangus terbakar di Lorong Lembu 1, Tempe, Rabu dini hari. Asap masih mengepul saat masyarakat dan petugas saling bahu-membahu memastikan lokasi aman serta membantu penanganan kebakaran.


Laporan : Sabri

Editor : Alimuddin


Ketika Nyala Lampu Masjid Belum Padam dan Kabut Subuh Masih Tipis, Warga Dikejutkan oleh Kobaran Api yang Merenggut Dua Nyawa, Menghanguskan Dua Rumah Panggung, serta Membangunkan Solidaritas Satu Kampung.


WAJO, SULSEL — Subuh, yang biasanya menghadirkan ketenangan di Kelurahan Tempe, berubah menjadi lembaran tragedi pada Rabu (19/11/2025) dini hari. Di saat udara masih lembap dan cahaya matahari belum menembus langit, warga Lorong Lembu 1 justru menyaksikan kilau jingga lain—bukan cahaya fajar, tetapi kobaran api yang membubung dari rumah panggung tua milik H. Andi Beddolo.

Para jemaah Masjid Al Ikhlas yang baru selesai menunaikan salat subuh awalnya mendengar suara letupan pelan, seperti kayu retak atau kabel meleleh. Beberapa di antara mereka menoleh ke arah lorong kecil itu. Apa yang terlihat kemudian membuat langkah mereka membeku: asap mulai mengepul, disusul cahaya merah yang makin terang.

“Awalnya samar, tapi makin dekat, baranya sudah besar,” ujar seorang warga, yang saat itu masih mengenakan sarung dan peci, mengingat kembali momen yang sulit ia lupakan.

Dalam hitungan detik, suasana berubah kacau. Warga berlarian, sebagian berteriak memanggil penghuni rumah, sebagian lagi menggedor pintu, berharap masih ada waktu menyelamatkan siapa pun yang ada di dalam. Beberapa ibu-ibu yang tinggal di sekitar lokasi terlihat memeluk anak mereka yang menangis ketakutan, sementara suara pecahan kaca dan kayu terbakar mengisi udara.

Cinta Terakhir di Tengah Kobaran Api

Di tengah kepanikan itu, satu sosok menjadi sorotan. Suhartini (67), yang oleh tetangga dikenal sebagai perempuan lembut dan penyabar, sempat terlihat berusaha masuk kembali ke dalam rumah saat api mulai membesar.

Menurut Kapolsek Tempe, AKP Candra Said Nur, S.H., M.H., niat Suhartini adalah tindakan cinta terakhirnya—upaya menyelamatkan suaminya, H. Andi Beddolo (70), yang sedang sakit dan tidak mampu berjalan.

“Ibu Suhartini hendak membantu suaminya keluar dari rumah. Namun keduanya justru terjebak,” tutur AKP Candra, suaranya berat menyampaikan kabar duka itu.

Warga berusaha menariknya keluar, namun kobaran api terlalu cepat merambat. Dalam tragedi yang mengiris hati itu, pasangan lanjut usia tersebut tak sempat menyelamatkan diri.

Hingga kini, banyak warga yang masih mengenang momen tersebut dengan mata berkaca-kaca. “Beliau itu istrinya sangat setia, selalu menemani Pak Andi… mungkin itulah bentuk cinta terakhirnya,” kata seorang tetangga dengan suara bergetar.

Ketika Setiap Tetes Air Berarti

Sementara teriakan meminta tolong terdengar dari berbagai arah, beberapa warga berinisiatif menyiramkan air dari ember dan jeriken. Ada yang memukul-mukul kayu rumah agar api tak merambat ke bangunan lain. Namun api yang melalap kayu tua rumah panggung itu begitu cepat, seolah membawa amarah yang sulit ditaklukkan.

Empat unit mobil pemadam kebakaran akhirnya tiba, sirenenya memecah pagi yang masih gelap. Para petugas berjibaku membentangkan selang, menyemprotkan air ke titik-titik api yang masih membara. Tak berselang lama, rumah panggung kedua—milik Hj. Andi Basse Indo Upe (64)—ikut menjadi korban. Api menjalar melewati dinding kayu, meninggalkan kepingan arang dan logam yang memuntir.

Di tengah kepulan asap dan kulit kayu yang hitam, aparat kepolisian, termasuk personel Polsek Tempe, ikut mengatur warga, membantu proses evakuasi, hingga memasang garis polisi untuk memastikan area benar-benar aman.

Kerugian yang Tak Tergantikan

Ketika api akhirnya padam dan asap mulai menipis, tampaklah yang tersisa: dua rumah yang selama puluhan tahun menjadi tempat berteduh kini tinggal kerangka. Sepeda motor hangus menjadi potongan besi. Perhiasan emas, dokumen penting, hingga dua lusin barang antik adat kebangsawanan musnah tak berbekas.

“Kerugian total diperkirakan mencapai Rp700 juta,” jelas AKP Candra.

Namun bagi warga, kerugian terbesar bukan pada angka itu, melainkan pada kehilangan dua sosok senior kampung yang selama ini dihormati dan disayangi.

Dugaan Korsleting, dan Imbauan Kewaspadaan

Dari pemeriksaan awal, kebakaran diduga dipicu korsleting listrik. Polsek Tempe akan berkoordinasi dengan PLN untuk mengecek jalur listrik di kawasan tersebut, sembari mengarahkan Bhabinkamtibmas memberikan edukasi rutin tentang pencegahan kebakaran.

“Kami mengimbau warga agar lebih berhati-hati, rutin memeriksa instalasi listrik, dan menghindari sambungan berlebih,” pesan AKP Candra.

Di balik sisa-sisa kayu hangus yang masih mengepul, pesan itu terdengar sangat relevan.

Solidaritas dalam Abu

Pagi itu, setelah api benar-benar padam, warga tetap berkumpul—bukan lagi dalam kepanikan, melainkan dalam kesedihan yang mereka bagi bersama. Beberapa ibu menyiapkan air minum untuk para petugas, sementara pemuda setempat membantu membersihkan sisa puing.

Di antara asap yang perlahan menipis, terlihat wajah-wajah lelah, mata sembab, dan bahu-bahu yang saling menopang. Karena di kampung ini, ketika satu rumah jatuh, yang lain menguatkan.

Polres Wajo pun menyampaikan duka mendalam atas musibah ini, berharap keluarga korban diberi ketabahan dalam menghadapi kehilangan yang tak terbayarkan oleh apa pun. (Sumber : Humas Polres Wajo) 




Tidak ada komentar