Breaking News

Manifesto Jarak


Ketgam:
Dari kiri ke kanan, Andi Baso Petta Karaeng, Alimuddin dan Muhammad Sumardi


Oleh : Alimuddin (Pemred Group Media Suara Palapa) 


Pers tidak mati karena dibungkam. Ia mati karena merasa aman.

Di zaman demokrasi digital, kekuasaan tak lagi perlu menekan. Ia cukup mendekat. Mengundang. Mengajak bermitra. Memberi ruang—lalu meminta pengertian. Di titik inilah pers paling rentan: ketika kritik dianggap mengganggu, dan jarak dinilai tidak produktif.

Organisasi pers lahir untuk menjaga jarak itu. Tapi terlalu sering, organisasi justru menjadi peredam. Bukan pagar, melainkan bantalan. Etika dijaga sebagai dokumen, bukan sebagai sikap. Kode etik dibaca, tapi jarang ditegakkan—terutama ketika yang dilanggar adalah kepentingan bersama yang nyaman.

Musyawarah, kongres, dan rapat kerja kemudian berjalan rapi. Struktur disusun. Program dirumuskan. Semua tampak sah. Namun sah tidak selalu berarti benar.

Demokrasi tidak membutuhkan pers yang rukun dengan kekuasaan. Ia membutuhkan pers yang bersedia tidak disukai. Pers yang menolak undangan jika undangan itu menghapus jarak. Pers yang tetap bertanya meski akses dipersempit. Pers yang tidak menukar independensi dengan legitimasi.

Media siber hidup di bawah tekanan algoritma dan ekonomi klik. Itu fakta. Tapi ketergantungan bukan alasan untuk tunduk. Kecepatan bukan pembenaran untuk kelalaian. Dan organisasi bukan tempat berlindung dari tanggung jawab moral.

Sebagai konstituen Dewan Pers, organisasi pers memikul amanat yang lebih besar dari sekadar keanggotaan. Ia bertugas menegur sebelum negara campur tangan. Mengoreksi sebelum publik kehilangan kepercayaan. Menjaga agar pers tetap pers—bukan perpanjangan kepentingan.


Manifesto ini sederhana:

Jaga jarak.

Tolak kedekatan yang mematikan kritik.

Lawan kenyamanan yang mengikis etika.


Sebab begitu pers berhenti menjaga jarak, ia tidak lagi mengawasi kekuasaan. Ia menjadi bagian darinya. Dan pada saat itu, demokrasi tidak runtuh—ia hanya dibiarkan kosong.


Tidak ada komentar