Suara dari Balikpapan: Ketika Panggilan Sahabat Lama Menghidupkan Kembali Empat Dekade Kenangan
Penulis : Alimuddin
Suara yang Menembus Waktu
Sore itu, ketika matahari mulai menipis di ufuk barat, sebuah suara pecah dari balik ponsel dan menggema lembut di ruang tamu Alimuddin.
“Hallo Pak Alimuddin, masih ingat suaraku?”
Pada detik pertama, suara itu tak hanya terdengar—ia dirasakan. Ada getaran dari masa lalu yang tiba-tiba hidup kembali. Jarak Soppeng–Balikpapan bukan lagi ribuan kilometer; jarak itu dipendekkan oleh sebuah panggilan yang membawa Alimuddin pulang ke masa putih abu-abu, ke tahun 1983, ke ruang kelas III IPA 2 SMA Negeri 156 Watampone.
Membuka Pintu Kenangan
Suara itu ternyata milik Ir. Jamaluddin Jamal, sahabat sealmamater yang kini tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur. Meski percakapan hanya lewat WhatsApp, cara ia menyapa membuat memori itu tidak datang perlahan—melainkan menyeruak, menerobos, dan memenuhi ruang ingatan seakan baru kemarin mereka melangkah keluar dari gerbang sekolah.
Alimuddin berhenti sejenak. Ada rasa hangat yang tidak bisa dijelaskan.
Ada hal-hal yang tidak dapat dikalahkan oleh usia:
ingatan, persahabatan, dan suara yang pernah tumbuh bersama.
Ketika Tawa Lama Bergaung Lagi
Percakapan berlanjut, dan setiap menitnya seperti membuka album yang lama tersimpan.
Mereka kembali membahas:
• lelucon khas remaja SMA,
• perebutan hati gadis-gadis cantik di sekolah,
• tugas OSIS yang sering membuat mereka pulang petang,
• kegiatan Pramuka dengan petualangan yang terasa heroik,
• hingga kerja kelompok yang membahas bagaimana Pohon Akasia dapat menjadi paru-paru kota dalam mengatasi konflik sosial perkotaan.
Semua itu kini terdengar seperti potongan cerita dari novel kehidupan.
Namun sore itu, potongan itu kembali utuh.
Kenangan itu tidak pudar—hanya menunggu dipanggil.
Empat Puluh Tahun yang Mengubah Segalanya
Waktu berlari tanpa kompromi.
Mereka bukan lagi anak-anak yang memikirkan nilai ujian atau jadwal piket.
Kini mereka adalah lelaki dewasa yang melangkah di jalan hidup masing-masing.
Jamaluddin telah berkarier sebagai pengusaha di sektor tambang batubara di Balikpapan. Sementara Alimuddin menjalani hari-hari di Soppeng, tetap menjaga koneksi emosional dengan para sahabat dari masa remajanya.
Meski dunia membawa keduanya pada arah yang berbeda, panggilan itu membuktikan satu hal:
persahabatan tidak pernah hilang, ia hanya berpindah tempat di dalam kenangan.
Nostalgia: Pengobat Lelah, Penjaga Jiwa
Di tengah kompleksitas hidup hari ini—tuntutan pekerjaan, dinamika keluarga, tekanan sosial—nostalgia menjadi ruang sunyi yang menyembuhkan.
Percakapan sederhana itu:
• seakan mengendurkan urat-urat saraf,
• memulihkan energi yang terkikis kesibukan,
• dan menghadirkan kembali semangat muda yang dulu pernah menyala.
Terkadang, yang kita butuhkan bukan liburan panjang, bukan perjalanan jauh. Hanya suara seorang sahabat lama yang memanggil dari ribuan kilometer, mengingatkan siapa kita dulu dan siapa kita sekarang.
Karena pada akhirnya,
masa muda tidak pernah benar-benar pergi—ia hanya berdiam di tempat yang jarang kita buka.
Pulang Tanpa Berpindah Tempat
Petang itu, Alimuddin tidak pergi ke mana-mana. Namun ia telah “pulang” sejauh pulang bisa terjadi. Pulang pada tawa, cerita, persahabatan, dan jejak-jejak masa remaja yang membentuk dirinya.
Percakapan yang berlangsung kurang dari satu jam itu seolah mengikat kembali benang-benang yang sempat terlepas oleh waktu.
Sebuah pengingat bahwa persahabatan sejati tidak memudar—ia hanya menunggu momen untuk kembali menyala.
Dan sore itu, suara Jamaluddin adalah korek api yang menyalakannya.

Tidak ada komentar