Di Pematang yang Menjaga Waktu: Filosofi Damai dari Belo yang Tak Pernah Lekang
Keterangan Gambar:
Bertelanjang Kaki Menjaga Damai. Bhabinkamtibmas Desa Belo, Brigpol Aksan H.S (kanan, mengenakan helm), bersama perangkat desa dan warga saat memfasilitasi mediasi sengketa batas pematang sawah di Dusun Cennoe, Desa Belo, Soppeng, pada Selasa (25/11/2025). Pendekatan humanis dan langsung di lokasi sengketa berhasil mencapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak.
Jejak Harmoni di Tanah Sawah
Ketika Batas Tak Lagi Menjadi Dinding
Tiga Pilar dan Hikmah yang Menyala
Damai sebagai Warisan Desa
SOPPENG, SULSEL — Ada yang istimewa di Desa Belo pada suatu pagi yang lembut itu. Embun masih menggantung di ujung dedaunan padi, sementara angin menyusuri pematang dengan langkah pelan seolah enggan membangunkan hari. Di balik ketenangan itu, dua hati yang sempat berbenturan tengah mencari jalan pulang menuju kelegaan.
Selasa, 25 November 2025, Dusun Cennoe menjadi saksi sebuah peristiwa sederhana namun sarat makna: mediasi dua warga—sdr. A dan sdr. B—yang berselisih tentang batas sawah, sebuah batas yang sejatinya hanya serpihan garis di tanah, namun sering kali menjelma menjadi tembok dalam hubungan antar manusia.
Namun hari itu, tembok itu dipilih untuk dilebur.
Jejak Harmoni di Tanah Sawah
Di desa, tanah adalah ingatan. Setiap jengkal menyimpan cerita leluhur, kerja keras, dan pengharapan. Pematang bukan sekadar sekat antara dua lahan; ia adalah garis halus yang menjaga keseimbangan. Ketika garis itu diperdebatkan, sejatinya masyarakat sedang belajar kembali tentang bagaimana menjaga satu sama lain.
Bhabinkamtibmas Desa Belo dan Desa Lompulle, Brigpol Aksan H.S, datang bukan sebagai aparat yang memutuskan, tetapi sebagai penjaga keheningan yang ingin dipulihkan. Didampingi Babinsa, Kepala Desa Belo, dan Kepala Dusun Cennoe, ia membuka forum kecil—forum yang terasa lebih seperti perhentian jiwa ketimbang ruang penyelesaian sengketa.
Di ruangan itu, kata-kata tak lagi menjadi senjata. Mereka menjadi jembatan.
Ketika Batas Tak Lagi Menjadi Dinding
Kedua warga menyampaikan pandangan mereka dengan suara yang pelan namun jujur. Ada kekhawatiran yang dititipkan, ada harapan agar hubungan baik tetap utuh. Sengketa batas sawah yang tampak kecil bagi sebagian orang ternyata mencerminkan sesuatu yang lebih besar: bagaimana manusia mengelola ruang, ego, dan hubungan dalam hidup yang saling bersinggungan.
Perangkat desa tak hanya memberikan arahan, tetapi juga menyodorkan kebijaksanaan dari tradisi panjang masyarakat Soppeng: bahwa masalah bukan untuk dipertajam, tetapi untuk dilembutkan. Bahwa musyawarah bukan hanya prosedur, tetapi jalan untuk mengenali diri sendiri melalui orang lain.
Dan ketika masing-masing pihak mulai memahami duduk persoalan, batas yang sebelumnya diperdebatkan itu perlahan memudar—tak lagi menjadi dinding, melainkan menjadi garis kesepahaman.
Akhirnya, mereka sepakat berdamai. Sebuah surat pernyataan pun ditandatangani. Tidak untuk mengikat, tetapi untuk mengingatkan bahwa kedamaian adalah pilihan yang harus dirawat.
Tiga Pilar dan Hikmah yang Menyala
Kegiatan mediasi berjalan aman, tenang, dan terasa seperti ritual kecil yang mengajarkan kembali nilai-nilai hidup. Sinergi antara Bhabinkamtibmas, Babinsa, dan pemerintah desa menjadi bukti bahwa keamanan bukan hanya soal patroli atau penegakan hukum, tetapi juga soal bagaimana menjaga kemanusiaan agar tetap hangat di tengah rutinitas.
Kapolres Soppeng, AKBP Aditya Pradana, S.I.K., M.I.K., memberikan apresiasi atas langkah yang telah ditempuh. Baginya, mediasi adalah jalan yang paling elegan untuk menyelesaikan persoalan di tingkat desa—lebih bijak daripada perselisihan, lebih manusiawi daripada konfrontasi.
Beliau mengingatkan bahwa pendekatan persuasif dan humanis adalah nafas yang harus terus dijaga oleh seluruh personel kepolisian. Karena di desa, ketenteraman bukan dibangun oleh kekuatan, tetapi oleh kehadiran yang tulus.
Damai sebagai Warisan Desa
Di akhir hari, ketika mediasi selesai dan para warga kembali ke sawah dan rumah masing-masing, udara terasa lebih ringan. Cahaya sore jatuh perlahan di pematang, seperti mengiringi langkah-langkah yang telah berdamai dengan diri dan sesamanya.
Di Cennoe, damai bukan sekadar keputusan. Ia adalah warisan—warisan yang selalu hidup di jalan-jalan setapak desa, di lambaian padi yang menunggu masa panen, dan di setiap musyawarah yang menyatukan dua suara menjadi satu pemahaman.
Hari itu, dua warga berdamai. Namun lebih dari itu, desa mengingat kembali bahwa yang membuat mereka hidup berdampingan bukanlah batas sawah—melainkan hati yang saling mengerti. (Sumber: Humas Polres Soppeng)

Tidak ada komentar