Ketika Kepala Daerah Merawat Budaya: PWI Kembali Gelar Anugerah Kebudayaan di HPN 2026
Keterangan Gambar
Suasana penilaian tahap paparan AK-PWI-HPN 2023 (Foto: Dok. PWI)
Denyut Budaya dalam Napas Pers
JAKARTA - Di antara riuhnya modernisasi dan derasnya arus digital, ada sesuatu yang tetap mengikat Indonesia dari masa ke masa: kebudayaan. Ia bukan sekadar tari atau ukiran, tetapi cara bangsa ini memandang dunia — dari tutur sapa yang lembut, gotong royong yang tulus, hingga keberanian untuk tetap berakar di tengah perubahan zaman.
Di sinilah peran media dan wartawan kembali menemukan maknanya. Pers bukan hanya pengabar berita, melainkan cermin yang memantulkan wajah bangsa, termasuk sisi kulturalnya. Kesadaran inilah yang menjadi dasar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam menghadirkan Anugerah Kebudayaan PWI Pusat — sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan kepada bupati dan wali kota yang dianggap berhasil memajukan kebudayaan daerahnya dengan dukungan media dan pers.
Tahun 2026, perhelatan ini kembali digelar bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) di Banten, pada 6–10 Februari 2026. Tema yang diangkat kali ini:
“Pemajuan Kebudayaan Daerah yang Inklusif dan Berkelanjutan, Berbasis Media dan Pers.”
Tema tersebut menjadi ajakan moral agar kebudayaan tidak hanya dirawat, tetapi juga dihidupkan bersama — oleh kepala daerah, media, dan masyarakat.
Mengapa PWI Peduli Budaya?
Pertanyaan itu sempat muncul di berbagai kalangan. Mengapa lembaga profesi wartawan terjun dalam urusan kebudayaan? Jawabannya datang dari Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Zulmansyah Sekedang, yang menegaskan bahwa pers dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat dekat.
“Wartawan dan media menyadari sepenuhnya bahwa negeri ini superpower dalam bidang kebudayaan. Bahkan UNESCO tahun 2017 telah mengingatkan dunia tentang hal itu. Dan di lapangan, kepala daerahlah yang memegang peranan penting karena mereka memiliki wilayah, rakyat, dan anggaran,” ujar Zulmansyah di Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Zulmansyah menambahkan, keberagaman budaya di Indonesia adalah modal sosial yang luar biasa, namun tanpa publikasi dan sinergi kebijakan, nilai-nilai luhur itu bisa tergerus. Di sinilah wartawan berperan: mencatat, mengabarkan, dan menginspirasi agar kebudayaan tetap menjadi kebanggaan nasional.
Dari Lombok hingga Banten: Sebuah Perjalanan Panjang
Anugerah Kebudayaan PWI bukanlah gagasan baru. Penghargaan ini pertama kali diberikan pada HPN 2016 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dari situ, tradisi apresiasi terhadap pemimpin daerah yang berjiwa budaya terus berlanjut.
Menurut Direktur Anugerah Seni dan Kebudayaan PWI Pusat, Yusuf Susilo Hartono (YSH), hingga kini sudah sekitar 50 kepala daerah yang menerima penghargaan tersebut. Mereka datang dari berbagai penjuru Nusantara, dengan kiprah yang beragam namun berakar pada satu semangat yang sama: mencintai dan memajukan budaya daerah.
Beberapa nama bahkan kini menjabat di posisi strategis nasional. Sebut saja Abdullah Azwar Anas, mantan Bupati Banyuwangi yang kini menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta yang kini Gubernur Jawa Barat; dan Bima Arya Sugiarto, mantan Wali Kota Bogor yang kini Wakil Menteri Dalam Negeri.
“Anugerah ini lahir dari kesadaran bahwa pemajuan kebudayaan bukan semata urusan seniman atau budayawan. Pemerintah daerah punya peran besar dalam menciptakan ekosistem budaya yang hidup — dari festival rakyat, revitalisasi situs, hingga edukasi budaya di sekolah,” jelas YSH.
Sinergi Media dan Pemerintah Daerah
Kebudayaan daerah tidak bisa berdiri sendiri. Ia tumbuh ketika diberi ruang oleh pemerintah dan diberitakan oleh media. Anugerah Kebudayaan PWI memfasilitasi dua kekuatan itu untuk berkolaborasi.
Melalui media, kebijakan budaya dapat diketahui publik; melalui pemerintah daerah, kebijakan itu diwujudkan menjadi program nyata. Contohnya terlihat pada daerah-daerah penerima anugerah sebelumnya, di mana festival budaya lokal, penguatan ekonomi kreatif, dan pelestarian adat tumbuh seiring dukungan media yang aktif meliput dan mempromosikannya.
“Media bisa membuat tradisi di pelosok menjadi dikenal dunia. Tapi lebih dari itu, media juga mampu mendorong kebijakan publik agar berpihak pada pelestarian kebudayaan,” tutur YSH.
Rangkaian dan Mekanisme Anugerah
Proses seleksi AK-PWI-HPN 2026 dimulai dengan sosialisasi dan penjelasan teknis melalui Zoom pada 20 Oktober 2025, yang akan diikuti pengurus PWI, anggota Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), serta Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).
Tahapan berikutnya adalah pendaftaran peserta dan pengumpulan proposal dari 20 Oktober hingga 15 Desember 2025. Setiap kepala daerah peserta diharuskan menyusun proposal inovasi budaya yang terukur dan melibatkan media.
Proposal tersebut kemudian akan melalui penjurian dan rapat evaluasi pada 16–30 Desember 2025. Sepuluh besar kandidat terpilih akan mempresentasikan gagasannya di hadapan Dewan Juri Nasional pada 8–10 Januari 2026, dilanjutkan verifikasi lapangan pada 11–15 Januari 2026.
Puncak penghargaan akan digelar pada 9 Februari 2026, bertepatan dengan Hari Pers Nasional di Banten, dengan pengumuman resmi calon penerima penghargaan pada 20 Januari 2026.
Tema Besar: Budaya Inklusif dan Berkelanjutan
Tahun ini, PWI menekankan pentingnya konsep inklusi dan keberlanjutan dalam pengelolaan kebudayaan. Masing-masing peserta diberi kebebasan memilih satu dari tiga subtema berikut:
1. Penguatan keragaman ekspresi budaya dan interaksi budaya inklusif.
2. Pemanfaatan kekayaan budaya berbasis media dan pers untuk memperkuat posisi Indonesia di tingkat internasional.
3. Pemajuan kebudayaan daerah yang melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem berkelanjutan.
Subtema tersebut mencerminkan pandangan baru bahwa kebudayaan tak lagi hanya soal pelestarian masa lalu, tetapi juga tentang keberlanjutan masa depan. Dalam konteks ini, media diharapkan menjadi jembatan antara nilai-nilai lokal dan tantangan global.
Bukan Hanya untuk Kepala Daerah
Yang menarik, mulai tahun ini, Anugerah Kebudayaan PWI juga akan diberikan kepada insan wartawan atau komunitas media yang secara konsisten berkontribusi dalam pemajuan kebudayaan — baik melalui karya jurnalistik, program literasi, maupun inisiatif komunitas.
Menurut YSH, wartawan memiliki kekuatan unik untuk mempengaruhi cara publik memandang kebudayaan. “Ketika wartawan menulis dengan hati tentang budaya, ia tidak hanya merekam, tetapi juga menghidupkan kembali semangat yang mungkin terlupa,” ujarnya.
Harapan dari HPN 2026 di Banten
Puncak HPN 2026 akan menjadi momentum penting, tidak hanya bagi dunia pers, tetapi juga bagi pemerintah dan masyarakat luas. Sebagai Ketua Panitia HPN 2026, Zulmansyah Sekedang berharap Presiden Prabowo Subianto dapat hadir untuk pertama kalinya dalam perayaan tersebut.
“Kami berharap Presiden bisa melihat dan mendengar langsung, tidak hanya pencapaian dunia pers, tetapi juga berbagai persoalan yang membutuhkan perhatian kebijakan di tingkat nasional,” kata Zulmansyah.
HPN 2026 di Banten diharapkan menjadi ruang dialog budaya, tempat ide-ide kebangsaan bertemu dengan akar tradisi, dan tempat media berperan bukan sekadar pelapor, tetapi penggerak perubahan.
Kebudayaan sebagai Arah Masa Depan
Dalam konteks global yang serba cepat, kebudayaan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tertinggal. Namun, justru di sanalah letak keunggulan Indonesia. Kebudayaan bukan masa lalu yang perlu dilestarikan, melainkan arah masa depan yang perlu ditumbuhkan dengan kebijakan, kolaborasi, dan cinta.
Anugerah Kebudayaan PWI menjadi pengingat bahwa kemajuan bangsa tak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari seberapa dalam kita menghargai identitas dan nilai-nilai yang membentuknya.
Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang melupakan budayanya — melainkan bangsa yang menjadikannya cahaya penuntun di tengah perubahan zaman. (PWI Pusat)

Tidak ada komentar