Ketika Aturan Dinegosiasikan, Marwah Pers Dipertaruhkan
Oleh : Syukur Mariorante Katalawala
Tidak ada yang lebih berbahaya bagi organisasi pers selain kebiasaan menawar aturan atas nama situasi. Itulah pelajaran paling pahit dari Konferensi Kabupaten (Konferkab) PWI Soppeng 2025. Apa yang terjadi di Watansoppeng bukan sekadar deadlock pemilihan ketua. Ia adalah peringatan keras tentang rapuhnya disiplin etika di tubuh organisasi yang seharusnya menjadi penjaga standar profesi jurnalis.
Meski berulang dua kali, hasil pemungutan suara tujuh banding tujuh memang menyita perhatian. Namun publik seharusnya tidak terjebak pada angka. Persoalan yang jauh lebih mendasar adalah bagaimana proses menuju angka itu berlangsung—dan di sanalah krisis sesungguhnya bermula.
Perubahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari 12 menjadi 14 orang tepat di hari konferkab adalah pelanggaran serius terhadap prinsip kepastian aturan. Dua peserta yang sebelumnya berstatus peninjau tiba-tiba dinyatakan sah memilih, meski hanya bermodal Kartu Tanda Anggota dalam bentuk PDF tanpa kartu fisik. Keabsahan itu diperoleh melalui sambungan telepon dengan Ketua Umum PWI Pusat yang diperdengarkan ke forum.
Langkah tersebut mungkin dapat dibenarkan secara struktural. Namun secara etik, ia menciptakan preseden berbahaya: aturan dapat berubah di tengah jalan, selama ada otoritas yang bisa ditelepon. Jika praktik semacam ini dibiarkan, maka demokrasi internal PWI kehilangan maknanya sebagai proses yang adil dan dapat diprediksi.
Deadlock tujuh banding tujuh kemudian dijadikan alasan untuk menyerahkan keputusan kepada PWI Provinsi Sulawesi Selatan. Langkah ini tampak aman secara organisatoris, tetapi justru menghindari evaluasi substantif. Kebuntuan itu bukan penyebab krisis, melainkan cermin dari proses yang sejak awal telah cacat.
Masalah paling serius muncul dari verifikasi calon. Fakta bahwa salah satu calon hanya melampirkan ijazah SMP—padahal aturan secara tegas mensyaratkan pendidikan minimal SMA atau sederajat—seharusnya cukup untuk menghentikan pencalonan sejak awal. Namun berkas tersebut tetap lolos, bahkan melalui dua tahapan verifikasi, termasuk oleh utusan provinsi. Ini bukan kelalaian teknis, melainkan pembiaran terhadap pelanggaran aturan.
Persoalan kian pelik ketika perbedaan identitas antara ijazah, KTP, KTA PWI, dan Sertifikat UKW tidak pernah dijelaskan secara tuntas. Organisasi pers yang setiap hari menuntut akurasi dan transparansi justru permisif terhadap ketidakjelasan identitas anggotanya sendiri. Ironi ini sulit dibela dengan alasan apa pun.
Rekomendasi Eksternal dan Retaknya Independensi. Fakta lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah munculnya arahan agar calon memperoleh rekomendasi dari pihak eksternal, khususnya unsur pemerintah daerah. Praktik ini bukan sekadar keliru secara prosedural, tetapi menyalahi prinsip paling dasar organisasi pers: independensi dari kekuasaan.
Sejak PWI berdiri pada 1946, tidak pernah ada tradisi menjadikan rekomendasi institusi di luar pers sebagai syarat atau penentu kepemimpinan organisasi. Bahkan dalam konteks paling sensitif—ketika PWI Pusat menugaskan wartawan meliput di Mabes Polri atau Istana Negara—PWI tak pernah menggunakan rekomendasi dari institusi tempat wartawan itu bertugas. Tujuannya jelas: menjaga jarak yang sehat agar wartawan tetap profesional, kritis, dan merdeka.
Meloloskan calon karena dukungan surat eksternal hanya akan melahirkan wartawan yang kehilangan daya kritis sejak awal. Ketika legitimasi diperoleh bukan dari aturan dan integritas, melainkan dari “surat sakti” kekuasaan, maka independensi berubah menjadi slogan kosong. Pers pun perlahan berhenti menjadi penjaga kepentingan publik.
Pengakuan bahwa keanggotaan PWI Muda pernah diberikan meski tidak memenuhi syarat pendidikan—dengan alasan aturan belum mengatur—hanya memperparah keadaan. Sebab PD dan PRT PWI telah lama mengatur syarat pendidikan minimal. Kesalahan lama yang dibiarkan tanpa koreksi hanya akan diwariskan, hingga akhirnya meledak seperti yang terjadi di Soppeng.
Persoalan ini juga menyentuh Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Sertifikat UKW bukan sekadar formalitas administratif, melainkan simbol kompetensi dan kelayakan profesi. Jika syarat awal mengikuti UKW tidak terpenuhi, maka keabsahan sertifikat tersebut patut ditinjau ulang. Ini bukan serangan terhadap individu, melainkan tuntutan atas integritas sistem sertifikasi pers nasional.
Sebagai organisasi Pers tertua dan terbesar, PWI tidak dapat berlindung di balik dalih “urusan internal”. Organisasi pers adalah bagian dari kepentingan publik. Ketika ia gagal menegakkan aturan dan etikanya sendiri, maka legitimasi moralnya untuk mengawasi kekuasaan ikut runtuh.
Kini tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan PWI Pusat. Keputusan yang diambil bukan sekadar menyelesaikan konflik di satu kabupaten, melainkan menentukan arah etika organisasi secara nasional. Menyelamatkan wajah dengan mengorbankan aturan mungkin meredam konflik jangka pendek, tetapi akan menghancurkan marwah jangka panjang.
Dalam dunia pers, integritas tidak mengenal kompromi. Aturan ditegakkan bukan ketika situasi mudah, melainkan justru ketika situasi paling sulit.
Soppeng telah memberi peringatan. Pertanyaannya kini sederhana namun menentukan:
Apakah PWI berani mendengarnya—atau memilih kembali menawar marwahnya sendiri?
Soppeng, 16 Desember 2025

Tidak ada komentar