Breaking News

Sidang Setempat Sengketa Tanah Reklamasi Cempae: PN Parepare Turun Meninjau Lokasi Sengketa



Keterangan Gambar:

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Parepare bersama para pihak dan kuasa hukum melakukan Pemeriksaan Setempat di area reklamasi Cempae, Soreang. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan kondisi faktual terkait batas tanah Penggugat serta bangunan milik para Tergugat yang diduga berdiri di atas tanah reklamasi dan menutup akses menuju bidang tanah bersertifikat SHM No. 1170.



Pengadilan Negeri Parepare Menelusuri Langsung Batas Tanah Sengketa Antara Pemilik Sah dan Bangunan di Atas Reklamasi Pantai yang Diduga Berdiri Tanpa Kewenangan

PAREPARE, SULSEL — Di bawah langit mendung yang menaungi wilayah Cempae, rombongan hakim Pengadilan Negeri Parepare melangkah menyusuri jalur sempit di antara vegetasi liar yang tumbuh di atas tanah reklamasi. Hari ini, agenda Pemeriksaan Setempat (PS) dalam perkara gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Nomor 19/Pdt.G/2025/PN.Pre menghadirkan babak baru dalam sengketa panjang antara Evelin Lo sebagai Penggugat dan Takbir, Ismail, Patotoreng beserta tiga instansi pemerintah yang turut digugat.

Di antara deretan warga, staf kelurahan, petugas BPN, dan kuasa hukum kedua pihak, atmosfer terasa tegang namun penuh perhatian. Kuasa Hukum Penggugat dari LBH Gerakan Pemuda Ansor Parepare, Rusdianto S., S.H., M.H., berdiri teguh memaparkan kembali inti perkara yang selama ini menjadi polemik di kawasan pesisir Soreang.

“Bangunan yang didirikan para Tergugat berdiri di atas tanah hasil reklamasi yang dulunya berbatasan langsung dengan laut. Akibatnya, akses menuju tanah milik sah Penggugat tertutup total,” tegas Rusdianto, sambil menunjukkan dokumen sertifikat dan peta bidang tanah kepada Majelis Hakim.

Menurutnya, tanah milik Penggugat berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 1170 merupakan hasil jual-beli yang sah dan telah lama tercatat sebagai bidang yang berbatasan langsung dengan laut di bagian barat. Namun setelah reklamasi yang dilakukan Pemerintah Kota Parepare pada 2001, tanah timbunan tersebut menjadi lokasi berdirinya bangunan-bangunan milik para Tergugat.

Yang memperumit keadaan, LBH GP Ansor juga menduga adanya manipulasi dokumen di masa lalu, mulai dari Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) yang diterbitkan Lurah Watang Soreang, hingga Surat Pengoperan Hak Garapan dari Camat Soreang—dokumen yang menurut mereka diterbitkan oleh pihak yang tidak berwenang.

Tidak berhenti di situ, Kementerian ATR/BPN Parepare juga disorot. Lembaga tersebut dinilai kecolongan karena pernah menerbitkan sertifikat di atas tanah reklamasi yang statusnya masih dipertanyakan. Kini, dua sertifikat yang dimiliki salah satu Tergugat bahkan sudah dibekukan atas rekomendasi KPK, semakin memperlihatkan kerumitan perjalanan administrasi tanah ini.

Dalam gugatannya, Penggugat meminta Majelis Hakim untuk:

1. Menyatakan perbuatan para Tergugat dan Turut Tergugat sebagai Perbuatan Melawan Hukum.


2. Memerintahkan pembongkaran bangunan yang menutup akses menuju SHM Penggugat.


3. Menghukum para Tergugat membayar ganti rugi materiil dan immateriil senilai Rp 1,2 miliar.



Pemeriksaan setempat ini menjadi panggung bagi para hakim untuk menyaksikan langsung kondisi faktual yang selama ini hanya tersimpan dalam lembaran berkas perkara. Jejak langkah mereka menyusuri lokasi diyakini akan menjadi salah satu elemen penting dalam mempertimbangkan arah putusan nanti.

Ketika rombongan PN Parepare menutup rangkaian pemeriksaan lapangan, suasana seolah menegaskan bahwa sengketa ini tak sekadar soal batas tanah—melainkan persinggungan antara sejarah reklamasi, akses hukum, dan hak kepemilikan yang masih harus diurai di ruang persidangan. (Tim Palapainfo.com) 



Tidak ada komentar