Breaking News

Anggota DPR RI Dr. Aras Berduka, Prof. AG. Ali Yafie Wafat


Ketua DPP PPP Dr. H. Muh. Aras, S.Pd., M.M., turut berdukacita dan berbelangsungkawa atas wafatnya Prof. Dr. H. Ali Yafie, M.A. Anggota DPR RI, Dr. Aras, Komisi V Fraksi PPP ini juga salah satu alumni DDI di Soppeng. Ia juga mantan Pimpinan PW GP ANSOR Sulawesi Selatan. GP Ansor merupakan organisasi neven NU.


Prof. AG. H. Muhammad Ali Yafie (1 September 1926 – 25 Februari 2023) adalah ulama fikih/hukum Islam, profesor, politikus, hakim, birokrat, dosen, akademisi, dan guru Indonesia yang pernah menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia sejak 1998 hingga 2000. 

Ia juga pernah menjabat sebagai Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada 1991-1992, yakni jabatan tertinggi di dalam organisasi NU. 

Hingga wafatnya, ia merupakan pengasuh Pondok Pesantren Darud Da'wah wal Irsyad, Parepare, Sulawesi Selatan yang didirikannya pada 1947, serta sebagai anggota dewan penasehat untuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Profesor Anregurutta Haji
Ali Yafie Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an
Masa jabatan 2002 – 2005 Pendahulu
Ibrahim Hosen Pengganti
Ahsin Sakho.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Masa jabatan 1998–2000
Pendahulu
Hasan Basri, Pengganti
Sahal Mahfudh.

Rais 'Aam Nahdlatul Ulama Masa jabatan
1991–1992, Pendahulu
Ahmad Shiddiq, Pengganti Ilyas Ruhiat

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Masa jabatan
1 Oktober 1971 – 1 Oktober 1987
Daerah pemilihan
Sulawesi Selatan (1971–1982)
Kalimantan Selatan (1982–1987)

Muhammad Ali Yafie lahir
1 September 1926 di Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, Hindia Belanda
Meninggal 25 Februari 2023 (umur 96)
Rumah Sakit Premier Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Indonesia
Kewarganegaraan
Indonesia, Partai politik
Nahdlatul Ulama (sebelum 1973) dan Partai Persatuan Pembangunan (sesudah 1973)
Istri, Hj. AiAisya (1945; wafat 2020)​
Anak 4.

Muhammad Ali Yafie dilahirkan di Desa Wani, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1 September 1926.

Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Yafie, seorang ulama dari Sulawesi Selatan, sedangkan ibunya bernama Imacayya, seorang putri raja Kerajaan Tanete di Sulawesi Selatan. 

Muhammad Yafie merupakan putra Syekh Abdul Hafidz Bugis, ulama yang menjadi guru di Masjidil Haram.

Ali Yafie menamatkan pendidikan di Vervolgschool Parepare pada 1940. Sejak 1941 hingga 1949, ia mengaji di Pesantren Rappang. Pada 1942, ia belajar di Madrasah Aunarrafiq Rappang. Pada 1951, ia belajar di Madrasah Aliyah Darud Da'wah wal Irsyad Parepare.

Pada 1942, Ali Yafie memulai karier sebagai guru agama di Rappang hingga 1944 dan Wakil Qadhi Jampue, Pinrang hingga 1947. Pada 1952, ia diangkat sebagai Kepala Bagian Sekretaris Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare. 

Setahun kemudian ia juga mulai mengajar sebagai guru agama di SMA Negeri Parepare hingga 1955. Pada 1955, ia dipromosikan menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare dan menjabat hingga 1959.

Spesialisasinya adalah pada ilmu fiqh dan dikenal luas sebagai seorang ahli dalam bidang ini. Ia diangkat sebagai hakim anggota di Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang sejak 1959 sampai 1962, kemudian Kepala Inspektorat Peradilan Agama Indonesia Bagian Timur (1962-1965).

Ali Yafie sebagai Anggota DPR, 1982.
Sejak 1965 hingga 1971, ia menjadi dekan di fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang, dan aktif di NU tingkat provinsi.

Ia mulai aktif di tingkat nasional pada 1971. Pada Muktamar Nahdlatul Ulama 1971 di Surabaya ia terpilih menjadi Rais Syuriyah. Pada pemilu 1971 ia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Nahdlatul Ulama untuk daerah pemilihan Sulawesi Selatan. 

Kemudian ia tetap menjadi anggota DPR tiga periode sampai 1987,
ketika Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Djaelani Naro, tidak lagi memasukkannya dalam daftar calon.

Sejak itu, Ali Yafie mengajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi Islam di Jakarta, dan semakin aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada Muktamar NU di Semarang 1979 dan Situbondo 1984, ia terpilih kembali sehagai Rais, dan di Muktamar Krapyak 1989 sebagai wakil Rais Aam. Karena Kiai Achmad Siddiq meninggal dunia pada 1991, maka sebagai Wakil Rais Aam ia kemudian bertindak menjalankan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenang sebagai pejabat sementara Rais Aam. 

Setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid mengenai penerimaan bantuan dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial untuk NU, Ali Yafie menarik diri dari PBNU.

Meski sudah mengundurkan diri, ia tetap menjadi ulama yang berafiliasi dengan NU dan tidak keluar dari NU. Dua tahun setelah pengunduran dirinya sebagai ketua NU, pada 1994, ia menghadiri Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya. 

Hubungannya dengan Abdurrahman Wahid masih terjaga hingga Wahid wafat. Dalam banyak kesempatan setelah pengunduran diri Yafie, Wahid kadang-kadang menyalahkan media atas kontribusi mereka untuk mengobarkan dan membuat marah Wahid dan Yafie karena membuat publisitas yang buruk.

Seperti di tahun 2021, ia masih aktif secara fisik dan masih menjadi ahli Fikih baik NU maupun Darul Dakwah wal Irsyad (DDI).

Pada 1991, Ali Yafie dikukuhkan sebagai guru besar fikih Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta oleh rektor Ibrahim Hosen. 

Pada 2002, Ali Yafie dilantik oleh Ketua Umum Yayasan IIQ Jakarta Harini Joesoef sebagai Rektor Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta menggantikan Ibrahim Hosen yang meninggal dunia.

Ali Yafie menikahi Aisyah pada 1945 dan dikaruniai 3 orang putra dan seorang putri. Aisyah meninggal dunia pada 24 Januari 2020.

Ali Yafie meninggal dunia di Rumah Sakit Premier Bintaro, Tangerang Selatan, pada 25 Februari 2023 pukul 22.13 WIB. (red)

Tidak ada komentar